Meski Beda Tetap Harus Bicara


Sunday, November 18, 2018

Parkir Bayar, Lebih Merepotkan dari Parkir Liar



Bagi saya yang kena smackdown oleh sistem kontrak sebuah perusahaan, sehingga berakhir sebagai seorang pengangguran yang bertahan hidup dengan mencairkan dana pensiunan, uang sebesar 2ribu rupiah adalah harta yang sangat berharga, sehingga harus ada alasan yang jelas ketika akan dikeluarkan.

Maka wajar saja menurut saya, jika saya begitu tak rela ketika harus menyerahkannya kepada seorang juru parkir yang tidak ada kontribusinya sama sekali terhadap kendaraan saya. Bagaimana tidak, kebanyakan dari mereka hanya muncul pada saat-saat terakhir. Dan itu terjadi hampir disemua tempat parkir.

Masih jelas diingatan saya, terakhir kali saya begitu susah mengikhlaskan 2ribu rupiah yang berpindah tangan begitu saja kepada seorang juru parkir. 
Di sebuah pasar tradisional yang hanya ada satu-satunya di daerah saya, saya memarkirkan kendaraan roda dua saya di halaman parkir yang tidak jauh dari toko yang akan saya kunjungi, tidak ada siapa-siapa, hanya ada beberapa motor dan helm yang ditinggalkan oleh pemiliknya, namun ketika saya selesai dengan urusan saya di toko yang tidak sampai 10 menit itu, dan bergegas ke tempat motor yang saya parkirkan, baru saja pakai helm, bahkan talinya belum saya “klik”, tiba-tiba terdengar suara peluit “priitt”, dengan kesadaran tinggi bahwa saya tidak sedang ada di tengah-tengah pertandingan sepak bola, saya tahu sekali darimana asal suara peluit itu, jelas bukan dari seorang hakim sebuah pertandingan yang selalu disalahkan, tapi dari seorang pahlawan kesiangan yang mengharap bayaran, yapps~ juru parkir. 

Suara pluit yang lebih horor dari film pocong keramas itu, membuat tubuh saya merinding sampai ke dompet. Entah dari mana kewajiban membayar parkir itu berasal, tapi yang pasti saya tidak punya cukup keberanian untuk tidak membayar dan membuat sang pahlawan kesiangan itu tersinggung. Dengan sedikit tarikan yang dia lakukan dibagian belakang motor, memberi penegasan bahwa dia layak dibayar, lalu melepasku pergi begitu saja, seperti aku melepas 2ribu rupiah ku begitu saja pula. Pada akhirnya, alih-alih mendapat harga yang lebih murah di pasar, malah menjadi sama saja dengan membeli di warung dekat rumah. Bahkan bisa jadi lebih mahal.

Sejak saat itu, rasa kesal yang memang sudah ada sejak lama, semakin menjadi-jadi, sampai membuat saya membenci tempat-tempat yang ada juru parkirnya. Sehingga ketika saya akan menuju suatu tempat, seperti mesin ATM atau toko swalayan (baca: Maret-maret) saya akan pastikan dahulu, tempat tersebut ada juru parkirnya atau tidak. Jika ada, saya akan mencari tempat serupa yang tidak ada tukang parkirnya. Begitu merepotkan memang dan membuang-buang waktu, tetapi itu lebih baik daripada saya membuang-buang uang tanpa mendapat feedback yang seimbang.

   
Hal itu berlangsung sampai sekarang, membuat saya merasa parkir berbayar lebih merepotkan dari parkir liar. Karena saya harus menghapal tempat-tempat yang tidak ada juru parkirnya, meskipun harus menempuh jarak yang lebih jauh, saya akan tetap memilih tempat itu. Atau misalkan sudah tidak ada tempat yang tidak ada juru parkirnya, maka kiat saya adalah mengajak teman saya untuk ikut. Jadi ketika sampai di lokasi, saya tidak memarkirkan motor di tempat parkir, melainkan dipinggir jalan. Teman saya lah yang bertugas sebagai penjaga motor, sehingga saya bisa tenang ketika masuk toko dan keluar toko. Tenang karena motor ada yang jaga meskipun dipinggir jalan dan tenang karena 2rb saya yang berharga selamat dari migrasi yang tanpa kontribusi.

Tetapi, tidak hanya juru parkir yang ada di tempat parkir saja yang membuat kesal. Ada lagi juru parkir yang tidak kalah menyebalkan, yaitu juru parkir di gang dan di pertigaan. Dengan suara peluit yang lebih nyaring serta ditambah gerakan-gerakan khas Iron Man, mereka menjadi penguasa jalan yang tidak mudah di taklukan. Kita harus terpaksa berhenti dan sabar menunggu sampai para Raja yang mereka kawal masuk ke bagan jalan. Mungkin prinsip yang mereka gunakan  adalah “Siapa Cepat, Dia Bayar”.
Bagi mereka yang bayar memang ada kontribusinya, saling menguntungkan. Tapi tidak untuk pengguna jalan yang lain, karena harus dibuat mengantri oleh diskriminasi sebuah transaksi. Bahkan tidak jarang, bisa membuat kemacetan yang panjang. Kalau sudah seperti itu, siapa yang harus disalahkan? Jokowi? Eh.

Seharusnya para juru parkir itu berlaku adil, tidak hanya ingin mendapat keuntungan saja. Berkontribusi lah terhadap kendaraan yang akan membayar, karena sesugguhnya para pemiliknya tidak cukup berani untuk tidak membayar. Begitu pula juru parkir di gang dan pertigaan, kalian memang sudah saling memberi keuntungan dengan para pengendara yang membayar, tetapi harus adil dengan para pengguna jalan yang lain, karena meskipun mereka tidak membayar, mereka juga mempunya hak. Hak untuk menggunakan jalan, hak untuk tidak berhenti mendadak,  serta hak untuk tidak bermacet-macetan gara-gara transaksi untuk keuntungan sendiri.

Jadi, istilah atau prilaku parkir liar yang sudah lahir lebih awal, memang sampai sekarang masih merepotkan. Karena dengan seenanya menyimpan kendaraan dan merebut hak orang lain. tetapi prilaku parkir bayar yang baru-baru ini lahir, lebih merepotkan dan menyebalkan. Karena dengan seenaknya mengintimidasi kendaraan dan berlaku tidak adil terhadap orang lain. 

1 comment:

  1. ajoqq^^com
    mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
    mari segera bergabung dengan kami.....
    di ajoqq^^com...
    segera di add black.berry pin 58CD292C.

    ReplyDelete

Undangan Pernikahan Dari Mantan : Permen Nani-Nani Yang Hilang Rasa Manisnya

Dia bingung dulu gak sih, waktu mau ngasih undangan? Sebingung yang dikasih~ Ada satu hal yang paling saya takutkan dalam hubung...