Bagi
saya yang kena smackdown oleh sistem
kontrak sebuah perusahaan, sehingga berakhir sebagai seorang pengangguran yang bertahan
hidup dengan mencairkan dana pensiunan, uang sebesar 2ribu rupiah adalah harta
yang sangat berharga, sehingga harus ada alasan yang jelas ketika akan
dikeluarkan.
Maka
wajar saja menurut saya, jika saya begitu tak rela ketika harus menyerahkannya
kepada seorang juru parkir yang tidak ada kontribusinya sama sekali terhadap
kendaraan saya. Bagaimana tidak, kebanyakan dari mereka hanya muncul pada
saat-saat terakhir. Dan itu terjadi hampir disemua tempat parkir.
Masih
jelas diingatan saya, terakhir kali saya begitu susah mengikhlaskan 2ribu rupiah
yang berpindah tangan begitu saja kepada seorang juru parkir.
Di sebuah pasar
tradisional yang hanya ada satu-satunya di daerah saya, saya memarkirkan
kendaraan roda dua saya di halaman parkir yang tidak jauh dari toko yang akan
saya kunjungi, tidak ada siapa-siapa, hanya ada beberapa motor dan helm yang
ditinggalkan oleh pemiliknya, namun ketika saya selesai dengan urusan saya di
toko yang tidak sampai 10 menit itu, dan bergegas ke tempat motor yang saya
parkirkan, baru saja pakai helm, bahkan talinya belum saya “klik”, tiba-tiba terdengar suara peluit “priitt”, dengan kesadaran tinggi bahwa saya tidak sedang ada di
tengah-tengah pertandingan sepak bola, saya tahu sekali darimana asal suara
peluit itu, jelas bukan dari seorang hakim sebuah pertandingan yang selalu
disalahkan, tapi dari seorang pahlawan kesiangan yang mengharap bayaran, yapps~
juru parkir.
Suara
pluit yang lebih horor dari film pocong keramas itu, membuat tubuh saya
merinding sampai ke dompet. Entah dari mana kewajiban membayar parkir itu
berasal, tapi yang pasti saya tidak punya cukup keberanian untuk tidak membayar
dan membuat sang pahlawan kesiangan itu tersinggung. Dengan sedikit tarikan
yang dia lakukan dibagian belakang motor, memberi penegasan bahwa dia layak
dibayar, lalu melepasku pergi begitu saja, seperti aku melepas 2ribu rupiah ku
begitu saja pula. Pada akhirnya, alih-alih mendapat harga yang lebih murah di
pasar, malah menjadi sama saja dengan membeli di warung dekat rumah. Bahkan
bisa jadi lebih mahal.
Sejak
saat itu, rasa kesal yang memang sudah ada sejak lama, semakin menjadi-jadi,
sampai membuat saya membenci tempat-tempat yang ada juru parkirnya. Sehingga ketika
saya akan menuju suatu tempat, seperti mesin ATM atau toko swalayan (baca:
Maret-maret) saya akan pastikan dahulu, tempat tersebut ada juru parkirnya atau
tidak. Jika ada, saya akan mencari tempat serupa yang tidak ada tukang
parkirnya. Begitu merepotkan memang dan membuang-buang waktu, tetapi itu lebih
baik daripada saya membuang-buang uang tanpa mendapat feedback yang seimbang.
Hal
itu berlangsung sampai sekarang, membuat saya merasa parkir berbayar lebih
merepotkan dari parkir liar. Karena saya harus menghapal tempat-tempat yang
tidak ada juru parkirnya, meskipun harus menempuh jarak yang lebih jauh, saya
akan tetap memilih tempat itu. Atau misalkan sudah tidak ada tempat yang tidak
ada juru parkirnya, maka kiat saya adalah mengajak teman saya untuk ikut. Jadi
ketika sampai di lokasi, saya tidak memarkirkan motor di tempat parkir,
melainkan dipinggir jalan. Teman saya lah yang bertugas sebagai penjaga motor,
sehingga saya bisa tenang ketika masuk toko dan keluar toko. Tenang karena
motor ada yang jaga meskipun dipinggir jalan dan tenang karena 2rb saya yang
berharga selamat dari migrasi yang tanpa kontribusi.
Tetapi,
tidak hanya juru parkir yang ada di tempat parkir saja yang membuat kesal. Ada
lagi juru parkir yang tidak kalah menyebalkan, yaitu juru parkir di gang dan di
pertigaan. Dengan suara peluit yang lebih nyaring serta ditambah
gerakan-gerakan khas Iron Man, mereka
menjadi penguasa jalan yang tidak mudah di taklukan. Kita harus terpaksa
berhenti dan sabar menunggu sampai para Raja yang mereka kawal masuk ke bagan
jalan. Mungkin prinsip yang mereka gunakan adalah “Siapa Cepat, Dia Bayar”.
Bagi
mereka yang bayar memang ada kontribusinya, saling menguntungkan. Tapi tidak
untuk pengguna jalan yang lain, karena harus dibuat mengantri oleh diskriminasi
sebuah transaksi. Bahkan tidak jarang, bisa membuat kemacetan yang panjang.
Kalau sudah seperti itu, siapa yang harus disalahkan? Jokowi? Eh.
Seharusnya
para juru parkir itu berlaku adil, tidak hanya ingin mendapat keuntungan saja.
Berkontribusi lah terhadap kendaraan yang akan membayar, karena sesugguhnya
para pemiliknya tidak cukup berani untuk tidak membayar. Begitu pula juru
parkir di gang dan pertigaan, kalian memang sudah saling memberi keuntungan
dengan para pengendara yang membayar, tetapi harus adil dengan para pengguna
jalan yang lain, karena meskipun mereka tidak membayar, mereka juga mempunya
hak. Hak untuk menggunakan jalan, hak untuk tidak berhenti mendadak, serta hak untuk tidak bermacet-macetan
gara-gara transaksi untuk keuntungan sendiri.
Jadi, istilah atau prilaku parkir liar yang
sudah lahir lebih awal, memang sampai sekarang masih merepotkan. Karena dengan
seenanya menyimpan kendaraan dan merebut hak orang lain. tetapi prilaku parkir
bayar yang baru-baru ini lahir, lebih merepotkan dan menyebalkan. Karena dengan
seenaknya mengintimidasi kendaraan dan berlaku tidak adil terhadap orang lain.
ajoqq^^com
ReplyDeletemau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajoqq^^com...
segera di add black.berry pin 58CD292C.