Meski Beda Tetap Harus Bicara


Tuesday, November 20, 2018

Mengenang Rasa Ciki dari Tukang Barang Bekas


kebaikan hati dimanfaatkan, kebikan hati bikin kejebolan.


Sekitar 10 tahun kebelakang atau mungkin lebih, para orang tua yang memiliki anak kecil, punya cara lain untuk memberikan anak-anaknya makanan ringan tanpa perlu mengeluarkan uang. 

Hanya perlu mencari barang-barang yang sudah tidak terpakai disekitar rumah, kemudian memberikanya kepada tukang barang bekas yang keliling dan ditukarkan lah dengan Ciki. 
Tidak perlu mencari banyak barang bekas, sebuah ember atau baskom yang pecah saja sudah cukup untuk membuat kita mengantongi Ciki satu plastik penuh. Begitu sederhananya.

Tidak hanya satu bentuk atau rasa Ciki yang tersedia, terkadang para tukang barang bekas ini bisa membawa dua sampai tiga karung ciki yang berbeda-beda. Ada ciki yang berbentuk bulat, berwarna kuning dan hitam dengan rasanya yang manis. Serta ada juga yang berbentuk panjang, berwarna merah dan rasanya pedas. Yang rasanya pedas ini mungkin dimaksudkan untuk ibu-ibu atau orang yang sudah dewasa.

Untuk rasa, saya pikir tidak perlu diragukan lagi, karena meski keluar dari plastik tukang barang bekas, rasa ciki-ciki ini layak bersaing dengan ciki-ciki yang ada di toko-toko swalayan (baca: Maret-maret). Buktinya para anak-anak yang memakanya tidak menyisakan sedikitpun. Sampai banyak yang ketagihan.

Namun sekarang, di tahun yang dimana Ibu Pertiwi merasa begitu sakit dibagian telinga karena perseteruan politik yang sangat berisik, makanan yang begitu akrab dengan kearifan lokal itu kini sudah jarang sekali ditemukan, atau mungkin memang sudah punah. 

Di daerahku, sebuah kampung yang dulu cukup sering dikunjungi para tukang Barang Bekas yang membawa ciki, bahkan seminggu bisa 2-3 orang tukang Barang Bekas yang lewat. Namun sekarang hanya ada satu orang saja yang lewat dalam seminggu, dan yang paling mengecewakan adalah, tidak ada ciki.

Karena saya bukan orang yang ketika kecewa langsung marah dan tidak bertanya untuk mendapat penjelasan. Saya coba menghampiri tukang Barang Bekas yang lewat depan saya itu, dan tanpa basa-basi saya langsung bertanya perihal sosok bulat-kuning-renyah-manis yang menghilang diantara tanggungan karung yang dia bawa. Lalu dengan tempo yang sesingkat-singkatnnya dia menjawab “sekarang mah kalau kita bawa ciki, kita malah jebol” karena tidak cukup mengerti dengan maksud perkataan dia, saya mencoba meminta penjelasan.

Menurutnya, selain harga ciki yang sudah naik begitu jauh dari harga yang dulu, ada faktor lain yang membuat dia kejebolan, yaitu karena keseringan diminta oleh orang-orang yang cukup dia kenal, sedangkan hampir semua orang di daerah saya kenal dekat dengan si amang tukang Barang Bekas ini. Alih-alih mendapat keuntungan yang lebih, dia malah kejebolan. 

Karena itu lah sekarang sudah jarang, atau bahkan tidak ditemukan tukang Barang Bekas yang membawa ciki, disamping terlalu banyak warga yang meminta lebih, harga ciki memang sudah terlampau mahal dan juga sudah agak sulit ditemukan di pasaran.
Nasib ciki yang jadi pemanis tukang Barang Bekas ini hampir mirip dengan nasib yang dialami oleh tempe yang menjadi setipis kartu ATM. Apa mungkin ini juga salah Jokowi? (aarghh... dikit-dikit Politik, berisik!)

Tetapi hidup harus terus berlanjut, dengan bermodalkan sedikit uang, timbangan dan karung-karung besar, para tukang Barang Bekas menyisir setiap jalan pedesaan. Berteriak lantang, untuk menyelamatkan barang-barang usang, menukarnya dengan uang dan dibawa pergi untuk didaur ulang. Berantakan hilang, uang dipegang, dan hati pun senang.

1 comment:

  1. mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
    BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
    BONUS REFERAL 20% seumur hidup.

    ReplyDelete

Undangan Pernikahan Dari Mantan : Permen Nani-Nani Yang Hilang Rasa Manisnya

Dia bingung dulu gak sih, waktu mau ngasih undangan? Sebingung yang dikasih~ Ada satu hal yang paling saya takutkan dalam hubung...