kebaikan hati dimanfaatkan, kebikan hati bikin kejebolan.
Sekitar 10 tahun
kebelakang atau mungkin lebih, para orang tua yang memiliki anak kecil, punya
cara lain untuk memberikan anak-anaknya makanan ringan tanpa perlu mengeluarkan
uang.
Hanya perlu mencari barang-barang yang sudah tidak terpakai disekitar
rumah, kemudian memberikanya kepada tukang barang bekas yang keliling dan
ditukarkan lah dengan Ciki.
Tidak perlu mencari banyak barang bekas, sebuah
ember atau baskom yang pecah saja sudah cukup untuk membuat kita mengantongi
Ciki satu plastik penuh. Begitu sederhananya.
Tidak hanya satu
bentuk atau rasa Ciki yang tersedia, terkadang para tukang barang bekas ini
bisa membawa dua sampai tiga karung ciki yang berbeda-beda. Ada ciki yang
berbentuk bulat, berwarna kuning dan hitam dengan rasanya yang manis. Serta ada
juga yang berbentuk panjang, berwarna merah dan rasanya pedas. Yang rasanya
pedas ini mungkin dimaksudkan untuk ibu-ibu atau orang yang sudah dewasa.
Untuk rasa, saya
pikir tidak perlu diragukan lagi, karena meski keluar dari plastik tukang
barang bekas, rasa ciki-ciki ini layak bersaing dengan ciki-ciki yang ada di
toko-toko swalayan (baca: Maret-maret). Buktinya para anak-anak yang memakanya
tidak menyisakan sedikitpun. Sampai banyak yang ketagihan.
Namun sekarang, di
tahun yang dimana Ibu Pertiwi merasa begitu sakit dibagian telinga karena
perseteruan politik yang sangat berisik, makanan yang begitu akrab dengan
kearifan lokal itu kini sudah jarang sekali ditemukan, atau mungkin memang
sudah punah.
Di daerahku, sebuah
kampung yang dulu cukup sering dikunjungi para tukang Barang Bekas yang membawa
ciki, bahkan seminggu bisa 2-3 orang tukang Barang Bekas yang lewat. Namun
sekarang hanya ada satu orang saja yang lewat dalam seminggu, dan yang paling mengecewakan
adalah, tidak ada ciki.
Karena saya bukan
orang yang ketika kecewa langsung marah dan tidak bertanya untuk mendapat
penjelasan. Saya coba menghampiri tukang Barang Bekas yang lewat depan saya
itu, dan tanpa basa-basi saya langsung bertanya perihal sosok
bulat-kuning-renyah-manis yang menghilang diantara tanggungan karung yang dia
bawa. Lalu dengan tempo yang sesingkat-singkatnnya dia menjawab “sekarang mah
kalau kita bawa ciki, kita malah jebol” karena tidak cukup mengerti dengan
maksud perkataan dia, saya mencoba meminta penjelasan.
Menurutnya, selain
harga ciki yang sudah naik begitu jauh dari harga yang dulu, ada faktor lain
yang membuat dia kejebolan, yaitu karena keseringan diminta oleh orang-orang
yang cukup dia kenal, sedangkan hampir semua orang di daerah saya kenal dekat
dengan si amang tukang Barang Bekas ini. Alih-alih mendapat keuntungan yang
lebih, dia malah kejebolan.
Karena itu lah
sekarang sudah jarang, atau bahkan tidak ditemukan tukang Barang Bekas yang
membawa ciki, disamping terlalu banyak warga yang meminta lebih, harga ciki
memang sudah terlampau mahal dan juga sudah agak sulit ditemukan di pasaran.
Nasib ciki yang jadi
pemanis tukang Barang Bekas ini hampir mirip dengan nasib yang dialami oleh
tempe yang menjadi setipis kartu ATM. Apa mungkin ini juga salah Jokowi?
(aarghh... dikit-dikit Politik, berisik!)
Tetapi hidup harus
terus berlanjut, dengan bermodalkan sedikit uang, timbangan dan karung-karung
besar, para tukang Barang Bekas menyisir setiap jalan pedesaan. Berteriak
lantang, untuk menyelamatkan barang-barang usang, menukarnya dengan uang dan
dibawa pergi untuk didaur ulang. Berantakan hilang, uang dipegang, dan hati pun
senang.