Meski Beda Tetap Harus Bicara


Monday, February 4, 2019

Undangan Pernikahan Dari Mantan : Permen Nani-Nani Yang Hilang Rasa Manisnya



Dia bingung dulu gak sih, waktu mau ngasih undangan? Sebingung yang dikasih~

Ada satu hal yang paling saya takutkan dalam hubungan asmara, yaitu ketika pada akhirnya pasangan saya tidak bisa bersama dengan saya. Atau lebih tepatnya, menikah dengan orang lain.

Salah satu alasan kenapa saya sampai saat ini menahan diri dan hati untuk tidak menjalin hubungan yang sangat dekat (pacaran) dengan seseorang, selain karena tidak laku terlalu banyaknya ranjau (zone-zone relationship) juga karena saya terlalu insecure terhadap ending-nya nanti. 

Perjalanan asmara tidak selalu berakhir indah, dan yang paling parah, ketika ditinggal menikah. dia mungkin tidak kemana-mana, namun ketika dia menikah,walau  jarak diantara kita hilang, kita tidak akan lagi bisa dekat. “cinta itu tidak harus memiliki” Bulshitttt~

Selain dari pengalaman pribadi, saya belajar dari pengalaman teman-teman saya. Banyak teman saya yang perjalanan asmaranya harus berakhir menyedihkan seperti itu. Karena dewasa ini, ketika kita apel ke rumah pasangan kita, pihak keluarganya pasti menganggap hubungan kita itu serius (tentu saja saya serius pak/bu/nek/kek). Sehingga cepat atau lambat, kita akan ditanyai kesiapan untuk melangkah ke tahap selanjutnya. Jika kita siap, tentu saja bukan hal yang berat untuk menjawab, tapi jika tidak siap, mereka akan kecewa—termasuk pasangan kita, maka jika seperti itu, siap-siaplah menerima undangan.

Pagi ini, tidak biasanya saya bangun lebih cepat. Selain karena orang-orang rumah yang berisik, juga karena hape saya yg berbunyi, sebuah pesan masuk. Saya pikir “palingan sms dari operator” namun ketika saya mencoba melihat jam di hape, ternyata notifikasi tadi adalah sebuah undangan yang dikirim via instagram dan akun yang mengirimnya begitu familiar, karena instastory-nya selalu menjadi paling kiri. Karena hal itu, mata saya terbuka lebar tanpa harus cuci muka terlebih dulu dan belek pun jatuh dengan sendirinya, mungkin karena ada yang ingin memaksa keluar dari mata.

Di jaman yang membuat posisi kertas tergeser seperti sekarang ini, sesuatu seperti undangan menjadi tidak selalu berupa surat atau kartu. Dia telah mempunyai banyak bentuk, salah satunya gambar, kemudian disampaikan kepada penerima dengan waktu yang tidak lama. Bagi saya, mungkin ini menjadi kali kedua saya menerima undangan dari mantan lewat instagram. 

Satu hal yang ingin saya tanyakan, dia bingung dulu gak sih, waktu mau ngasih undangan? Sebingung yang dikasih.

Maksud saya, mungkin bagi dia pernikahan itu merupakan sebuah awal, tapi bagi saya, pernikahan dia merupakan sebuah akhir. Apa dia yakin kalau saya sudah tidak mempunyai perasaan lagi terhapnya? Apa dia yakin saya akan baik-baik saja ketika menerima undangannya?

Jujur saja, saya bingung ketika menerima undangannya, mungkin karena saya tidak bisa menerima kenyataannya. Perasaan saya campur aduk, seperti permen ”manis—asem—asin rame sakit rasanya”~

Mungkin akan berbeda jika sebelumnya saya sudah menikah lebih dulu dari mantan saya. Saya tidak akan bingung ketika sekarang menerima undangan dan dia pun mungkin tidak akan bingung ketika memberinya. Karena sebelumnya kita sudah kebingungan ketika saya yang memberi undangan.

Kalau begini, disisi lain, pernikhan menjadi seperti balapan. Siapa yang akan lebih dulu kebingungan dan siapa yang akan lebih dulu pura-pura sibuk dengan kerjaan.

Saturday, February 2, 2019

Bangku Belakang VS Bangku Depan








Kata dosen “posisi duduk mempengaruhi prestasi”, Padahal yang duduk paling depan cuma cari sensasi.

Dalam dunia perkuliahan, kata-kata dosen lebih mulia daripada kata hati. Gerakannya di perhatikan, suaranya didengarkan, tugasnya dikerjakan, dan keinginan egois nya direalisasikan.
Namun bagi saya, sehebat-hebatnya dosen, selalu saja ada pernyataan dari mereka yang membuat saya mengerutkan halis. (meski sebenarnya halis saya datar-datar saja)

Salah satu yang saya ingat adalah pernyataan dari dosen perempuan di awal semester “ini terbukti, posisi duduk mempengaruhi prestasi”. Kata beliau santai.

Dosen yang tidak saya ingat wajahnya ini (karena jarang masuk dan selalu diwakili oleh asistennya yang sok kalem), mengeluarkan pernyataan tersebut karena ketika dia menerangkan di depan kelas dengan suaranya yang pelan dan tidak pernah diulang itu, menanyakan apa saja yang dia bicarakan kepada para mahasiswa diakhir pembahasan, dan yang pertama menjadi sasaran tentu saja Suku Air Selatan Bangku Belakang. 

Para penghuni bangku belakang—termasuk saya yang pemalas ini, tentu saja tidak mendengar dengan jelas, karena suara si Ibu yang pelan dan tidak pernah diulang. Sehingga tidak bisa menjawab dengan benar pertanyaan dari beliau. Namun ketika si Ibu bertanya ke Negara Api Bangku Depan, para superior caper itu bisa menjawabnya, walaupun tidak semua benar. 

Tetapi karena kesenjangan yang sebenarnya tidak terlalu senjang itu, mereka yang duduk di bangku paling depan langsung mendapat penghargaan dari Dahsyatnya Award si Ibu dosen yang cuma saya ingat namanya itu. Penghargaan tersebut berupa pujian dan legitimasi terhadap mereka yang duduk di depan. Bahwasanya mereka lah calon-calon pencari sensasi berprestasi yang layak dicaci diakui. Luar biasa sekali bukan?!

Padahal saya yakin, mereka cuma tidak sengaja saja mendengarnya karena posisi duduk mereka yang dekat dengan si Ibu dosen. Sedangkan kami yang berada di posisi yang jauh dari sumber suara, wajar saja tidak mendengar dengan jelas. 

Tadinya saya ingin langsung menyatakan keberatan saya terhadap pernyataan beliau, namun saya menahannya, karena saya ingin beliau melihat sendiri sikap asli para penghuni bangku depan yang sangat bersebrangan dengan kebiasanya sehari-hari, yaitu ketika hari ujian tiba.
Kenapa saya membandingkannya dengan hari ujian? Karena sikap mereka di hari-hari biasa dan di hari ujian itu berbalik total 180 derajat.

Di hari-hari biasa, mereka datang on time atau lebih dulu dari kita, agar bisa duduk dibangku depan dan kita yang terlambat, tentu saja akan duduk di bangku belakang. Namun situasinya berbeda jika di hari ujian, mereka datang on time atau bahkan jauh sebelum jam ujian dimulai, hanya untuk bisa duduk di bangku belakang. Alasanya sederhana, agar tidak sulit ketika mencontek. Mantapppp, lalu kemana perginya orang-orang berprestasi yang dibanggakan si Ibu dosen??? 
#Inginkuberkatakasar

Ketika saya ingin melihat seperti apa ekspresi beliau jika melihat situasi tersebut, si Ibu dosen pemberi penghargaan itu ternyata tidak hadir. Seperti biasa, hanya diwakili oleh asistenya—yang masih sok kalem.

Kemudian, kita yang datangnya selalu terlambat di hari-hari biasa, memberi usaha lebih untuk minimal bisa datang on time di hari ujian. Namun hal itu sia-sia, mereka—si kumpulan orang ambisius dan superior itu datang lebih cepat, pada akhirnya hanya tinggal bangku depan saja yang kosong. Mau tidak mau, kita harus duduk di depan, karena kalaupun memaksa duduk di belakang, dosen akan menyuruh kita untuk mengisi bangku di depan yang kosong. Sambil kesal saya mendecih dalam hati “fix, auto ngulang”.~

Cerita diatas membuktikan, bahwa kata-kata dari dosen tidak semuanya perlu didengar, karena tidak semuanya benar. Posisi duduk sama sekali tidak mempengaruhi prestasi. Mereka yang duduk didepan tidak lebih dari para pejuang sensasi. Caranya basi, hanya menipu diri sendiri dan terbuki, ketika ujian—bangku depan kesayangan mereka—tidak mereka isi sama sekali.

Pernah pada kesempatan lain, jauh sesudah cerita diatas terjadi, saya berdebat dengan seorang wanita yang termasuk salah satu dari mereka (sejak dulu saya memang tidak suka sekali dengan wanita ini). Perdebatan terjadi di Grup Whatsapp kelas kami, sebenarnya hanya karena hal sepele, awalnya dia (salah satu yang dulu pernah mendapat pujian dari dosen karena duduk di depan) menyatakan kekecewaanya terhadap dosen yang jarang masuk, bahkan menghakimi dengan sebutan “makan gaji buta”. Boo amboo~ di depan dosen aja baik, tapi di belakang mah menghardik.

Saya yang tidak biasanya komentar di Grup pun, tiba-tiba tergerak, kemudian dengan sedikit gerakan ibu jari, saya mengomentari pernyataannya. 

“Dia : demo aja hayuu”

“Saya : apa-apa demo, apa-apa demo, sekalian aja bikin alumni, biar saingan sama 212”

“Dia : pada elu, apa nanya, apa nanya, oon dipiara”

(sumber pernyataannya adalah karena saya termasuk yang paling aktif bertanya di kelas. tapi kalau untuk yang sering bertanya disebut orang oon, saya tidak tau dia mengutip itu dari ilmuan mana)

Saya berhenti sejenak, sedikit tertawa karena pernyataanya yang lebih lucu dari joke bapak-bapak. Sambil kesal saya balas:

“haha ciyee orang pinter, gak pernah nanya. Tiap hari duduk di paling depan, giliran ujian duduk di paling belakang”

Para penyimak sekaligus penghuni Grup pun bersorak, beberapa diantaranya membalas komentar saya dengan emot tertawa. ~hahaha 

#epiccomeback


RUU P-KS Hanya Lindungi Body, Sedangkan Hati, Masih Saling Menyakiti


Tolong sekalian dibuatkan juga RUU PKH (Penghapusan Kekerasan Hati)

 Dari beberapa artikel yang saya baca dan berita yang saya dengar, perihal rencana pengesahan sebuah Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, membuat saya tersadar, bahwa ternyata wanita tidak bisa menyatukan suara. 

Hal ini jelas, karena disamping wanita yang mendukung disahkannya RUU PKS tersebut, ada juga wanita yang menolaknya. Wanita yang mendukung sepertinya memang khawatir akan keselamatan fisiknya ketika pasangannya hilang kendali. Sedangkan wanita yang menolak, khawatir pasangannya menjadi canggung atau bahkan takut untuk meminta hak nya sebagai suami, sehingga mengakibatkan kecilnya peluang untuk mendapat pahala dan menjadi istri yang solehah. 

Fisik wanita memang yang lebih berhak menerima perlindungan dari hukum, sebab telah banyak wanita yang menjadi korban kekerasan. Sedangkan lelaki, tanpa dilindungi oleh hukum pun, mereka bisa melindungi diri sendiri. Meski tidak semua, namun mayoritas memang seperti itu.

Kekhawatiran mereka sepertinya terlalu berlebih, mereka lupa, bahwa RUU tersebut hanya memberi perlindungan terhadap fisik saja, sedangkan hati, salah satu organ yang mudah tersakiti, tidak ada yang membentengi. Soal perasaan memang bukan urusan pemerintah, namun setidaknya mereka paham, bahwa fisik seseorang akan terancam jika perasaannyanya disakiti. 

Jadi seharusnya dibuat juga RUU PKH (Penghapusan Kekerasan Hati). ~huhuyy
Kaum hawa itu relatif pintar, meski mayoritas dari mereka fisiknya lemah. Namun dengan kepintarannya mereka bisa menghancurkan lelaki yang mayoritas fisiknya kuat. Terbukti banyak suami-suami yang takut kepada istrinya, bukan karena fisik si istri yang kuat, melainkan karena hati si suami yang lemah. Wanita yang pintar bicara selalu mendominasi di setiap percakapan atau bahkan pertengkaran. Tidak jarang karena hal itu, lelaki lah yang kalah, atau mungkin mengalah.

Oleh karena itu, saya setuju dengan istilah “perempuan tidak butuh disetarakan, ia hanya perlu dimuliakan.” Karena tanpa disetarakan pun, mereka (para wanita) sudah menyetarakan diri sendiri. Begini saja, Tidak perlu matematika yang rumit, jika ada sebagian wanita yang bekerja disebuah perusahaan, maka dengan jumlah yang sama, ada lelaki yang kehilangan pekerjaannya. Saya tidak membenci wanita yang bekerja keras, saya hanya tidak suka saja, bukanya itu pekerjaan lelaki.?

Kembali ke RUU. Jika nanti RUU PKS ini telah dihilangkan R nya, yang berarti telah disahkan, belum tentu kekerasan seksual terhadap wanita akan berkurang drastis. Karena sebenarnya masyarakat  Indonesia itu kebal hukum. Meskipun ada hukumannya, akan tetap diperbuat. Selain itu, para korban yang kebanyakan dari kaum wanita ini, tidak memiliki keberanian yang cukup untuk melaporkan kekerasan yang diterimanya. Hal ini dikarenakan mereka terlalu takut dengan proses hukum yang tidak jarang malah ikut menyeret korbannya juga.

Dari awal, RUU ini memang terlihat feminim, meski tujuan intinya adalah untuk memberi perlindungan kepada siapapun agar tidak mengalami kekerasan seksual. Namun karena sebagian besar korban dari kekerasan seksual itu adalah wanita, RUU ini menjadi seperti membela kaum wanita. Padahal kaum lelaki juga rentan terhadap kekerasan, meskipun itu kekerasan hati.

Akan tetapi, kaum lelaki tidak perlu khawatir jika ada wanita kuat yang melakukan kekerasan seksual kepada kalian, kalian juga bisa mengandalkan RUU ini. Meski nantii kalian akan sedikit terlihat feminim.

Undangan Pernikahan Dari Mantan : Permen Nani-Nani Yang Hilang Rasa Manisnya

Dia bingung dulu gak sih, waktu mau ngasih undangan? Sebingung yang dikasih~ Ada satu hal yang paling saya takutkan dalam hubung...